Aku Yang Berbeda

 Luka yang tak berbekas

Rara Dea Ayunda, wanita kuat, tegar, dan tangguh namun begitu rapuh. Biarlah Tuhan yang tahu seberapa lukanya aku, hingga akhirnya luka itu menghilang bersama detik yang kembali berdetak.

"Rara darimana saja kamu, pulang larut malam?" suara itu menghentikan langkahku, siapa lagi kalau bukan bunda, wajahnya yang teduh, penuh kasih sayang. Tapi, tidak dengan anak nakal sepertiku. Aku berbeda, aku tidak seperti kakakku yang anggun, santun, dan penurut. Aku juga bukan si kecil yang cantik, rajin, dan menjadi kebanggaan. Dialah dua putri kebanggaan Bunda. Jika aku boleh memilih, aku ingin seperti mereka, slalu dipuji dan disanjung. Namun aku bukan mereka, aku berbeda. Aku hanya mematung seribu bahasa, Percuma jujur sekali pun, dimatanya aku tetap salah. Diam dan mulai mendengarkan ceramah harianku.

"Kau ini perempuan, sudah dewasa, harusnya tahu mana yang benar dan yang salah. 

Kau lihat adikmu sedang belajar di kamarnya, dan kakakmu sedang muraja'ah hafalan Al￾Qur'annya. Mau sampai kapan seperti ini, Hah?" mata indah itu menatapku tajam. Aku hanya diam, seperti biasa, tak ada keinginan sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya. Kita sama￾sama terdiam, hingga akhirnya aku berlalu. masih terlihat jelas, wajah yang tersulut emosi, ia memandangku dengan mata yang menahan amarah. 

Keesokan paginya....

Seperti biasa, bangun pagi untuk kuliah. Aku bukan anak yang cerdas, bahkan IP ku selalu dibawah 3.5 tapi aku percaya, Tuhan tidak pernah salah menciptakanku. Semangat Rara, kamu pasti bisa, batinku memberikan semangat pagi. Kakiku terhenti di meja makan, mereka sudah berada tepat sebelum aku datang. 3 insan yang sangat bahagia. 

"Ka, Ayuk makan bareng kita, nasi gorengnya enak lho" mengajakku dengan suara cempreng si bungsu. Panggil saja Shaqilah, anak kelas 11 SMA dengan tingkat kecerdasan tinggi. Tanpa ku tatap bunda, aku makan dengan cepat, agar segera pergi dari tempat ini. 

"Rara, kalau makan pelan -pelan" tegur si hafidzah, anak kesayangan bunda. Kak Hasna Amelia, Lulusan Mesir dua tahun silam dengan predikat sempurna. Itulah, mengapa bunda menyuruhku seperti kedua putrinya, tapi aku punya pilihanku, biarlah waktu yang menjawab segalanya. Ku cium tangan penuh berkah itu, semoga Allah melimpahkan kemudahan dalam perjalananku menggapai mimpi.

"Assalamualaikum" sambil berlalu meninggalkan kecanggungan di ruangan yang menurutku begitu asing. "Wa'alaikumsalam" sambungnya menjawab salamku. 

                                        ***

Waktu menunjukkan pukul 16.00. Aku bukan mahasiswa kupu-kupu, Aku mengikuti sebuah komunitas penggerak literasi, bagi kami literasi itu bukan hanya membaca, tapi menulis, dan, diskusi. Di sana aku menemukan kedamaian dan ketenangan daripada harus dirumah mendengarkan ibu membandingkanku dan dua anak kesayangannya. Komunitas ini bernama"Jagongan Literasi". Berkumpul bersama untuk mengolah pikiran, setidaknya ada banyak ilmu yang bisa ku dapat di sini sambil menikmati senja beraroma kopi.

"Hai Ra, sudah menunggu lama?" tanya pria yang sudah disampingku dengan sikapnya yang hamble, untuk semua. Kak Yoga, aktor kampus dengan ketampanan dan kecerdasan yang tinggi, siapa yang tidak mengenalnya? Wanita mana yang tidak suka dengan aktivis kampus seperti dirinya? Sempurna. 

"Belum kok kak, baru sampai" entah sejak kapan jantungku bergetar hebat saat disisinya. 

Apa aku telah jatuh cinta padanya? batinku. " Yang lain pada kemana, ra?" tanyanya masih dengan memegang buku yang dipegangnya.

"Mungkin sedang sholat ashar dulu kak?" jawabku. Karena di dunia perkuliahan 
menyesuaikan setiap kondisi. Kadang ada yang kuliah. Komunitas ini berdiri dua bulan lalu. Terdiri dari 7-10 pemuda, dan hanya aku wanitanya. Kami tidak pernah membedakan, karena disini adalah saling bertukar informasi. Aku menyukai dunia literasi sejak kelas 2 SMP, aku tidak pernah absen untuk mencurahkan hari-hariku dalam buku diary coklat yang selalu bersamaku. Aku ingin menjadi novelis terkenal seperti pemilik catatan Ayat-Ayat 
Cinta, Kang Abik. Dia idolaku, semangatku, dan semoga....aku mampu melihat senyum itu kembali merekah di wajah bunda. Aku berbeda, aku ingin menjadi kebanggaan bunda dengan caraku sendiri. Itulah impian terbesar. 

" Assalamualaikum, gaes" sapa 4 pria yang sudah duduk di samping kami. Ada Kak 
Andra, Kak Arsyal, Kak Gandhi yang notabene-nya mahasiswa semester 7 seperti Kak Yoga dan ada Dion, mahasiswa baru 3 bulan yang lalu serta diriku yang baru semester 5. Kami pecinta literasi, yang ingin sedikit mengepakkan sayap. Karena keresahan dan kegelisahan inilah, komunitas ini ada. 

"Ok, mari kita mulai diskusi pada sore hari ini. Satu minggu lagi kan peringatan hari 
Kartini, tema kita adalah " Dia Kartini". Ada yang mau berpendapat tentang R. A. Kartini"? Kak Yoga membuka diskusi dengan episode seperti biasa, dengan sebuah gagasan. Sederhana 
tapi mampu memaksa otak untuk sedikit berjiwa muda. Berpikir. 

Aku mengacungkan tangan "Kartini adalah pejuang wanita, yang mampu mengangkat 
harkat dan martabat wanita itu sendiri. Sekarang, wanita bisa berbicara, bersekolah, dan berjuang bersama kaum adam. Membuktikan bahwa wanita dan pria punya hak yang sama". Selain dariku, banyak sekali gagasan dari penggiat literasi di sampingku. Senja mulai beranjak pergi, menyisakan segelintir pencinta literasi sambil menyesap manis pahitnya kopi. 
Saling berkomunikasi, bertukar informasi, tanpa saling merasa benar sendiri. 

"Karena kumandang adzan sudah terdengar, mari kita tutup diskusi pada sore hari ini. Tetap semangat buat kawan-kawan semua, semoga senantiasa istiqomah. Assalamualaikum" ujarnya menutup diskusi kali ini.Sebelum pulang, kami mampir ke Masjid untuk menunaikan tugas seorang muslim.

"Ya bateraiku habis lagi, gimana pulangnya?"gumamku di depan masjid bernuansa putih ini. Ku lihat Kak Arsyal sedang memakai sepatu di sampingku. Mungkin dia bisa bantu. 

"Kak Arsyal, boleh pinjem handphonenya nggak? tanyaku. "Buat pesan Go-jek kak, 
baterai handphoneku habis". Lanjutku memelas, tahu sendirilah drama apa yang terjadi ketika pulang larut malam. 

"Boleh sih, tapi mending pulang sama Yoga aja Ra, kan satu arah biar sekalian" Jawabnya menawarkan teman seperjuangannya. 

Belum sempat ku jawab, pria itu sudah di 
sampingku dan Kak Arsyal. "Ga, lho kan pulangnya searah sama Rara, sekalian dia anterin ya, kasian udah malem juga"ujar kak Arsyal. 

"Gak papa sih, Ayo Ra naik" ajak aktivis kampus itu, dengan senyumnya yang ramah. 

                                     ***

"Makasih ya kak udah mau nganterin sampai rumah, maaf kalau merepotkan"ucapku sembari 
tersenyum. 

"Santai saja Ra, kalau gitu aku balik dulu ya, Assalamualaikum" sambil berlalu motor ninja merah miliknya. 

" Wa'alaikumsalam"

" Rara kenapa baru pulang? dan tadi siapa laki-laki yang mengantarmu? " drama the series siap di mulai. Menunggu diruang tamu, kemudian mengintrogasiku seolah aku penjahat yang tertangkap basah. 

"Jawab pertanyaan bunda sekarang, kenapa kamu nggak pernah dengerin bunda, kalau kuliahnya sudah selesai segera pulang. Bunda udah bilang, jangan pacaran, 
masa depanmu lebih penting daripada itu semua. Kenapa kamu nggak pernah dengerin bunda, sekali saja turutin kata-kata bunda. Kamu perempuan sayang, nggak baik" Tubuh itu mulai menjauh dariku dengan tatapan sendu. 

Sayembara menulis novel, ku baca berkali-kali pesan yang baru saja ku terima dari 
Kak Yoga. "Aku tahu kamu ingin menjadi novelis, cobalah Ra, semoga jalanmu di sini. Tetap semangat ya" senyumku mengembang dengan pesan yang baru saja ku terima dari pemuda  yang jauh di sana. 

"Makasih kak, untuk semuanya" balasku menutup kembali handphoneku. 
Membahagiakan bunda tanpa harus menjadi orang lain, batinku. 

Sajadah itu terbentang lebar di sudut lantai kamarku. Isakku terdengar memohon, 
semoga ada jalan menuju keridhoannya. Ku buka laptop putih pemberian bunda dua tahun silam, jari jemariku mulai mengetik satu persatu huruf menjadi kata. Kata menjadi kalimat hingga jadilah sebuah paragraf. Waktu masih dua bulan lagi,

"semoga saja" ucapku pelan penuh pengharapan. 

                                           ***
Entah kenapa perkataan itu membuatku semakin pilu dan sendu. Apa aku sekeras itu? Apa aku sejahat itu? Aku mulai terisak. 

"Ambil tisu ini" ternyata pria itu lagi, kak Yoga. Dia menatapku penuh tanya, "Ada 
masalah?" tanyanya dengan duduk disampingku. Aku hanya menggeleng, masalah apapun tidak pernah aku ceritakan kepada siapapun. 

"Jangan bohong Ra, aku tahu kamu lagi ada masalah. Kalau nggak mau cerita nggak 
papa. Aku paham kok. Menangislah, jika membuatmu lega" menepuk pelan bahuku. 
Aku mengangguk dengan mata memerah. Aku mengatakan padanya, aku ingin menjadi juara sayembara menulis novel itu untuk ku persembahkan pada bunda dan dia memberikan dua jempol kepadaku, dengan mantranya" tetap semangat" sembari melebarkan senyum 
diwajahnya. 

                                        ***
Dua bulan kemudian... 
Pemenang Sayembara Menulis Novel atas nama Rara Dea Ayunda dengan judul " 
Detik yang Tak Berdetak". Airmataku tak bisa terbendung, aku berlari menuju tempat 
singgah komunitasku. Aku mengatakan bahwa aku jadi juara Sayembara itu, akhirnya aku 
bisa membanggakan bunda tanpa menjadi orang lain. "Aku berhasil kak" ucapku di depan 
pria yang masih terkejut melihatku berbicara sendiri dan menangis seperti orang gila. " Aku 
juara kak" ulangku dengan nada lirih. 
"Selamat Ra, atas keberhasilanmu, aku yakin teman-teman komunitas bangga dengan 
calon novelis hebat sepertimu" dia menawarkan mengantarkanku pulang untuk memberi 
kejutan bunda. 
Aku berlari sekencang mungkin, ku peluk tubuhnya yang sangat ku rindukan. Aku 
menangis dipundaknya dan mengatakan aku menjadi juara sayembara menulis novel, ini kado 
istimewa untuk bunda. "Bunda bangga kepadamu, nak". Shaqilah dan Kak Hasna juga berlari 
memelukku. Aku sangat bahagia akhirnya waktu menjawab takdirku. Laki-laki itu, masih di 
sana dengan senyum yang sangat bahagia. Terimakasih untuk segalanya kak.



Komentar

Postingan Populer