Aku Orang Biasa

 Bab 1 -Dungu


Duduk di tengah malam entah kenapa menjadi sebuah hobi. Memandang pijaran  cahaya dari arah utara. Langit yang menghitam dengan sedikit putih keabu-abuan. Ratusan rumah terlihat lebih kecil dengan dengan warna kemerahan. Bangunan tinggi yang menjulang pun seolah menungguku untuk segera memandang keindahnya. 


Balkon Pondok Pesantren selalu memberikan gairah untuk berteriak sekerasnya tanpa bersuara. Bersapa semaunya tanpa pengikatnya. Ini adalah istana rahasia. Pembuka jiwa, rasa, dan semesta. Ruang berfikir yang membuat segala yang pelik menjadi imajinasi yang asik. 


Orang bilang aku tak bisa apapun. Aku serba salah, aku penuh kekeliruan. Bodoh? ya, mengingat saja tidak. Aku hanya si pelupa yang takut untuk melangkah. Tertawa? Sudah biasa aku ditertawakan oleh para penguasa bahkan kurcaci sekalipun enggan berteman denganku. Aku hanya diletakkan sebagai figura untuk memperelok kehidupan mereka. Miris kan? 


Benarkah Tuhan menghadirkan manusia tanpa sia-sia? Sedangkan aku hanya tong sampah untuk tempat kotoran. Manfaat juga kan? 


"Kamu itu tahu ngga sih, May? Aku sudah bilang kan semuanya harus rapi, sesuai tempatnya. Paham?" 


Aku hanya menunduk ketakutan. Jangan kan membalasnya, melihat wajahnya saja aku tidak berani. Setelah memberiku segudang kata-kata, dia berlalu dengan mata yang tajam. 


Kau tahu? Setelah memarahi habis-habisan dia mulai bercerita dengan teman-temannya. Apakah aku sebodoh itu? Seperti layaknya orang tuli yang tak pernah bisa mendengar. Bagai orang buta yang tidak bisa melihat. Tapi bukankah orang dungu tetap bisa merasakan? 


"Nasya. Dia itu, kau tahu sendiri seperti apa. Semua yang dia lakukan tidak pernah berhasil. Nihil. Yang benar saja, Tulisan masih belum rapi, dia sudah print out. Belum lagi, pengetahuannya, masih sedikit. Dia nggak tahu apa-apa masih saja ditunjuk jadi Sekretaris. Aku kasih pemahaman dia nggak paham-paham. Kalau nggak disodorkan mana mau tanya dia. Geram aku Ris. Anak seperti itu saja dipelihara."


Kak Fenti Amalia, satu angkatan lebih tua daripada diriku. Jujur, dia anggun, cantik, dan tentu saja pintar. Semua yang dia lakukan sempurna. Pantas, dia melihatku perempuan yang tak punya dan tidak tahu  apa-apa. 


Aku hanya perempuan biasa yang berasal dari desa. Seperti yang banyak orang ketahui, aku selalu salah kaprah dalam melakukan segala hal. Mudah ditertawakan, tidak mudah bergaul, tidak pandai mengingat, dan siapa yang akan mencintaiku? Siapa yang akan memelukku? Siapa yang akan memahami laraku?


Tangisan itu benar-benar meluapkan ribuan kenyataan pahit. Wajah yang tenggelam dalam rengkuhan tubuh seorang manusia yang mulai kehilangan semangat. Sayangnya, itu aku. 


Aku hanya ingin belajar meski harus pura-pura dungu. Aku ingin mengetahui banyak hal meski dikira aku buta. Aku tidak peduli, seberapa picik kehidupan memandangku. 


Seberapa banyak goresan lukanya, waktu akan menyembuhkannya kan? Biarlah dianggap asing tapi aku tetap ingin bersaing. Biarlah diremehkan tapi aku ingin tetap memperjuangkan


Semarang, 15 November 2021

03.20 WIB

Komentar

Postingan Populer